Nama : Ambrosius Nurhadi Prasetyo
NPM : 10110601
Kelas : 1KA26
FUNGSI AGAMA
a. Fungsi agama dalam pengukuhan nilai-nilai
Bersumber pada kerangka acuan yang bersifat sakral, maka normanya pun dikukuhkan
dengan sanksi-sanksi sakral. Dalam setiap masyarakat sanksi sakral mempunyai kekuatan
memaksa istimewa, karena ganjaran dan hukumnya bersifat duniawai dan supramanusiawi
dan ukhrowi.
b. Fungsi agama di bidang sosial
Adalah fungsi penentu, di mana agama menciptakan suatu ikatan bersama, baik di anggota
anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu
mempersatukan mereka.
c. Fungsi agama sebagai sosialisasi individu
Memerlukan suatu sistem nilai sebagai semacam tuntutan umum untuk mengarahkan aktivitasnya dalam masyarakat dan berfungsi sebagai tujuan akhir pengembangan kepribadiannya. Pendidikan agama mengajarkan bahwa hidup adalah untuk memperoleh keselamatan sebagai tujuan utamanya. Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut kita harus beribadat secara teratur dan berdoa setiap hari, menghormati dan mencintai orang tua, bekerja keras, hidup sederhana dan mampu untuk menahan diri. Maka perkembangan sosialnya terarah secara pasti serta konsisten dengan suara hatinya.
d. Memberi rasa memiliki kepada sesuatu kelompok manusia.
Agama merupakan satu faktor dalam pembentukan kelompok manusia. Hal ini terjadi
karena sistem agama menimbulkan keseragaman yang bukan saja sama, melainkan tingkah
laku, pandangan dunia dan nilai yang sama.
*Sumber: Buku Cetak ISD MKDU, Gunadarma
Pelembagaan Agama
Agama merupakan sesuatu yang bersifat universal, abadi, yang mengatur masyarakat dalam semua sendi kehidupan. Jika berbicara tentang pelembagaan agama, ada beberapa hal yang perlu dijawab, seperti, untuk apa agama ada, unsur-unsur, fungsi, bentuk dan struktur agama.
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, diantaranya :
1. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nila sakral.
Masyarakat tipe ini kecil,terisolir dan terbelakang.Anggota masyarakat menganut agama yang
sama.
2. Masyarakat-masyarakat Praindustri yang sedang berkembang
Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, perkembangan teknologi lebih tinggi dari tipe yang
pertama, agama memiliki arti dan ikatan kepada sistem nilai pada masyarakat.
3. Masyarakat berkembang.
Agama selalu memberikan petunjuk kepada masyarakat bagaimana selamat di dunia dan di akhirat dengan menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Untuk kepentingan tersebut perlu jaminan rasa aman dan tenang kepada pemeluk agama dalam menjalankan kehidupan beragamanya, untuk itulah agama masuk dalam sistem kelembagaan dan menjadi sesuatu yang rutin. Agama menjadi salah satu aspek kehidupan semua kelompok sosial , merupakan sesuatu yang menyebar mulai dari bentuk perkumpulan manusia, keluarga, kelompok kerja yang dalam beberapa hal penting bersifat keagamaan.
Lembaga-lembaga keagamaan pada puncaknya berupa peribadatan, pola ide-ide dan keyakinan-keyakinan dan terkadang muncul berupa organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah,NU, dll. Pelembagaan agama itu sendiri pada puncaknya terjadi pada tingkat intelektual, tingkat pemujaan(ibadat) dan tingkat organisasi.
*Sumber: http://ms.wikipedia.org/wiki/Agama
STUDY KASUS
Umat Hindu Ramai-ramai "Mekemit"
KARANGASEM— Umat Hindu di Bali ramai-ramai mekemit atau berjaga di pura dalam serangkaian hari raya Siwaratri yang berlangsung setahun sekali, tepatnya pada Catur Dasi Krsna Paksa Bulan Magha, yang jatuh Senin (3/1/2011 ).
Seperti halnya di Pura Penataran Pande Bujaga, Rendang, Kabupaten Karangasem, tampak sejak Senin pagi umat Hindu telah melakukan serangkaian peribadatan untuk selanjutnya mekemit semalam suntuk hingga Selasa pagi.
Jro Mangku Pande Made Tastra, tokoh spiritual setempat, mengatakan, Siwaratri merupakan hari suci, yang dimaknai umat Hindu sebagai hari untuk menyucikan diri.
Upaya penyucian diri itu, lanjutnya, tidak hanya dilakukan umat melalui mekemit atau jagra, tetapi juga dengan melaksanakan upawasa (tidak makan dan tidak minum) dan monabrata (berdiam diri atau tidak bicara yang bukan-bukan).
Jro Mangku Komang Merta, tokoh spiritual asal Desa Nongan, Karangasem, mengungkapkan, saat Siwaratri, sebagian besar warga di kampungnya beramai-ramai melakukan mekemit atau berjaga semalaman di Pura Penataran Pande Bujaga. Tradisi itu sudah berlangsung sejak lama dan berlaku turun-temurun dari generasi ke generasi.
"Biasanya sebagian besar warga, baik anak-anak, remaja, maupun orang tua, ke pura mulai pukul 19.00. Begitu sampai di pura, warga langsung melakukan persembahyangan bersama," ujar wanita yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang banten (perlengkapan ritual) itu.
Sembahyang yang dilakukan, kata Jro Mangku, berlangsung tiga kali, yakni saat pertama kali datang ke pura sekitar pukul 19.00, pada pukul 24.00, dan sembahyang terakhir pukul 06.00 Wita. Seusai persembahyangan di keremangan pagi, warga pun kembali ke rumah masing-masing.
Dia menyebutkan, saat melakukan jagra, para orang tua akan megending atau menyanyikan tembang-tembang suci. Anak-anak muda akan megambel sebagai pengiring tembang suci yang mengalun. Suasana syahdu akan terasa di keheningan malam hingga akhirnya fajar menyingsing.
"Nyanyian lagu-lagu suci berakhir menjelang pagi. Setelah bersembahyang, warga akan kembali. Tradisi mekemit di pura inilah yang membedakan Siwaratri dengan hari raya lain bagi umat Hindu di Bali," katanya.
Seperti halnya di Pura Penataran Pande Bujaga, Rendang, Kabupaten Karangasem, tampak sejak Senin pagi umat Hindu telah melakukan serangkaian peribadatan untuk selanjutnya mekemit semalam suntuk hingga Selasa pagi.
Jro Mangku Pande Made Tastra, tokoh spiritual setempat, mengatakan, Siwaratri merupakan hari suci, yang dimaknai umat Hindu sebagai hari untuk menyucikan diri.
Upaya penyucian diri itu, lanjutnya, tidak hanya dilakukan umat melalui mekemit atau jagra, tetapi juga dengan melaksanakan upawasa (tidak makan dan tidak minum) dan monabrata (berdiam diri atau tidak bicara yang bukan-bukan).
Jro Mangku Komang Merta, tokoh spiritual asal Desa Nongan, Karangasem, mengungkapkan, saat Siwaratri, sebagian besar warga di kampungnya beramai-ramai melakukan mekemit atau berjaga semalaman di Pura Penataran Pande Bujaga. Tradisi itu sudah berlangsung sejak lama dan berlaku turun-temurun dari generasi ke generasi.
"Biasanya sebagian besar warga, baik anak-anak, remaja, maupun orang tua, ke pura mulai pukul 19.00. Begitu sampai di pura, warga langsung melakukan persembahyangan bersama," ujar wanita yang sehari-hari berprofesi sebagai tukang banten (perlengkapan ritual) itu.
Sembahyang yang dilakukan, kata Jro Mangku, berlangsung tiga kali, yakni saat pertama kali datang ke pura sekitar pukul 19.00, pada pukul 24.00, dan sembahyang terakhir pukul 06.00 Wita. Seusai persembahyangan di keremangan pagi, warga pun kembali ke rumah masing-masing.
Dia menyebutkan, saat melakukan jagra, para orang tua akan megending atau menyanyikan tembang-tembang suci. Anak-anak muda akan megambel sebagai pengiring tembang suci yang mengalun. Suasana syahdu akan terasa di keheningan malam hingga akhirnya fajar menyingsing.
"Nyanyian lagu-lagu suci berakhir menjelang pagi. Setelah bersembahyang, warga akan kembali. Tradisi mekemit di pura inilah yang membedakan Siwaratri dengan hari raya lain bagi umat Hindu di Bali," katanya.
*Sumber: http://oase.kompas.com
Opini: Menurut saya kegiatan keagamaan seperti yang di atas sangat bagus dan patut dicontoh oleh masyarakat lain. Kerena kegiatan tersebut mengandung rasa kekeluargaan dan banyak pelajaran agama dari kegiatan tersebut dan masyarakat Bali masih memegang teguh tradisi kebudayaannya. Tradisi “Makemit” yaitu menjaga pura dalam memperingati hari raya Siwaratri untuk penyucian diri dan masyarakat Bali melakukan puasa, ternyata tradisi ini sudah lama dilakukan dan sudah turun-menurun dari generasi ke generasi selanjutnya. Semoga tradisi ini dapat dilestarikan, bukan hanya dari masyarakat Bali saja melainkan seluruh tradisi kebudayaan yang ada di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar